Suatu ketika, di lorong yang menghubungkan dua gedung bertingkat kampus FMIPA UNESA (kemudian kami biasa menyebutnya koridor C3) terlihat sekelompok mahasiswa yang masih berseragam hitam-putih. Itulah tanda bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut masih berstatus maba atau mahasiswa baru. Hari itu adalah hari kedua para maba Biologi UNESA mengenal dunia kampus. Di antara mereka ada seorang maba yang baru pertama kali masuk. Maba itu tampak sibuk dengan jobdes-nya, berkenalan dengan teman-teman yang ada di sebelahnya. Maba itu adalah aku.
Sasaran pertama adalah..... anak yang paling aneh. Siapa?
“Fis, dari Jombang.” Katanya sambil menjabat tanganku.
“Oh, aku Shobirin dari Nganjuk” Jawabku sambil manggut-manggut.
Karena masih sangat katrok maka acara ngobrol pun masih belum tercipta. Aku memutuskan untuk hunting lagi. Kali ini aku bertemu dengan beberapa “makhluk baru” lainnya. Kalau dilihat dari cara ngobrolnya yang santai, mereka tampak sudah akrab sekali. Saat berkenalan dengan salah seorang dari mereka yang mengaku PP Surabaya-Gresik, tiba-tiba muncul sedikit uneg-uneg di benakku.
“Kalau melihat modelnya, kayaknya tipe mahasiswa seperti inilah yang nantinya lebih suka bolos, nongkrong, merokok atau pacaran daripada kuliah... heh... sudah kelihatan dari wajahnya.”
Itulah kesan pertamaku ketika berkenalan dengan seorang Rino Kristyarto (013204014). Setelah berkenalan lebih jauh dengan sosok Rino, ternyata banyak sekali “fitur unik” yang terlalu sulit diterjemahkan melalui apresiasi visual.
1. Wajah Mesum
Kenapa saya memanggil Sang Presiden, karena sebagaimana telah kita ketahui bersama (sebagai anggota ABSI atau Dharma Wanita ABSI), bahwa jabatan presiden terpaksa harus diraihnya karena di antara kami tidak ada yang dapat membawakan sifat-sifat khas ABSI hanya dengan mengandalkan visualisasi wajah.
Ingat saja pesan Nadi dalam CD cinderamata ABSI, “Jogoen nafsumu, No!” Itu bukanlah tanpa alasan, karena tanpa horny pun sebagian besar dari kami menganggap wajahnya itu sebagai “tampang mesum” (huehehe... No, ojo nesu yo...). Selain itu, karena cavital oris-nya sering merilis omongan-omongan yang agak “menjurus” maka predikat “tampang mesum” yang diusulkan oleh Dwi Fatmawati itu semakin diamini oleh teman-teman sekelas.
2. Otak Encer
Mengapa harus Rino yang didaulat menjadi Sang Presiden? Dari info yang berhasil kuperoleh menyebutkan bahwa waktu SMA dulu cowok ini pernah menjabat sebagai ketua sie Rohis (tapi sak iki koq koyo ngene?). Hmm, mungkin hal ini cukup menjadi “fitur plus” yang tidak perlu ditunjuk-tunjukkan. Ada lagi... selain kekhususan itu, ternyata Sang Presiden juga memiliki otak yang sangat encer. Di bidang akademis, sosok yang satu ini merupakan poros kutub yang tidak pernah sepi dari para pemburu tugas kuliah.
3. Berjiwa Pemimpin
Bagi kami, semester lima merupakan zona waktu yang penuh dengan mata kuliah berat. Pada periode ini Sang Presiden sempat terpilih menjadi wakil PK (PeKa = Pemimpin Kelas). Karena sebuah kendala teknis maka dengan penuh rasa tanggung jawab (atau keterpaksaan?) akhirnya Sang Presiden harus berganti peran menjadi seorang PK. Dari sinilah jiwa pemimpinnya mulai muncul menggantikan sang PK terpilih. Saat itu Sang Presiden mampu membawa kelas melewati masa-masa yang berat dengan sukses (khususnya untuk mata kuliah Mikrobiologi).
4. Tukang “Ngintip”
Sejak semester awal dia sudah mendaftarkan diri di UKM Fotografi. Katanya, “Aku kepingin daftar nang UKM AFO, hobiku jeprat-jepret.” (walaupun jiwa seninya minim sekali, bisikku dalam hati). Akhirnya hobi itu berhasil tersalurkan di UKM Aktifitas Fotografi. Banyak karya yang telah dihasilkan (No, pasangen ae nang blogmu...!). Cita-citanya ingin mempunyai studio foto sendiri di rumah. Itulah salah satu komunitas yang turut membesarkan karakter Sang Presiden.
5. Mendeklarasikan ABSI
Setelah lama kasak-kusuk tentang ABSI menyebar ke seluruh penjuru mata angin, secara tidak tertulis akhirnya ABSI memutuskan Rino menjadi yang pertama dalam komunitas ini. Berikutnya diikuti oleh sekjen, anggota, hingga dharma wanita. Tepat pada saat praktikum ekologi di pantai Parang Ireng, Alas Purwo (xx xx 2004), Sang Presiden bersama dengan semua anggota mendeklarasikan ABSI sebagai wadah komunikasi antar sesama penduduk kelas Pendidikan Biologi Reguler 2001.
6. Kisah Asmara
Setelah sekian lama hanya berani menggoda dan menggoda akhirnya klaim bahwa masa PPL merupakan masa pertaruhan untuk menentukan pilihan dianut juga oleh Sang Presiden. Berawal dari pertemuan yang tidak disengaja di sebuah SMA seputaran Stadion Brawijaya Kediri sebuah kisah mulai terbentuk. Tapi sepertinya cerita indah itu harus kandas di tengah jalan karena kurang mendapat restu dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hiks...hiks...huks...hug...guk...gug... (lho, nangis opo njenggong?). Tapi live must go on. Makane No, ojo 100 %, 60 – 70 % ae...! Rino yang sukses ternyata adalah Rino yang sampai saat ini tetap stay jomblo. Ada yang mau bantu?
7. Sang Presiden yang PNS
Setelah lama bergulat dengan skripsi di bawah asuhan Dr. Yuni dan Bu Fida, akhirnya tepat di semester delapan Sang Presiden memutuskan untuk mengakhiri masa kuliah melalui prosesi wisuda purnawiyata. Gelar Sarjana Pendidikan rupanya telah menandai awal perjuangan Sang Presiden dalam melanjutkan trah guru dari kedua orang tuanya.
Melalui GTT di sebuah SMP yang berbatasan dengan gang selebar 2 meter dari tembok rumahnya, Sang Presiden mengawali karir di dunia Pendidikan. Selanjutnya, melalui tes CPNS 2006 Sang Presiden berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya memang layak menjadi seorang PNS. Jadi PNS yang bersih, tanpa campur tangan kantong kotor adalah prestasi tersendiri baginya. PNS adalah cita-cita (hampir) semua guru swasta, bahkan merupakan incaran empuk bagi calon ibu-ibu mertua. Di antara sesama anggota ABSI, Sang Presiden telah mampu menorehkan jejak keberuntungan dan perjuangan yang patut dicontoh.
Presiden ABSI bukanlah sekedar jabatan, tapi juga merupakan suatu bentuk penghargaan. Bolehlah Rino merasa telah mengundurkan diri, tapi kami semua masih menganggap bahwa engkaulah Sang Presiden! (choby)